SRENGÈNGÈ MLÊTHÈK

SRENGÈNGÈ MLÊTHÈK
MUMBULING SURYÅ ILANGING SAMBÈKÅLÅ [2010]

GOOGLE TRANSLATE

Selasa, 09 September 2014

Peta Jaringan Trayek Angkutan Perairan di Kabupaten Cilacap




Ziarah ke Gua Maria Bendung - Klaces - Nusakambangan - Cilacap

Ziarah ke Gua Maria Klaces, Bendung, Nusakambangan, Cilacap

Pergi dengan komunitas keluarga Katolik tempat suami saya bekerja,
Berangkat Jumat 25 Mei 2012 sampai Minggu 27 Mei 2012...
Di bulan Maria, bulan Mei...
dan di Minggu bertepatan hari raya Pantekosta....


Saya berziarah bersama suami dan si Tengah dan si Bungsu....
dengan perjanjian penting adalah :
selama perjalanan ziarah ini tidak pakai bertengkar dan tidak juga untuk mengeluh
dan mereka berjuang untuk menjalankan apa yang mereka amini
dan saya dan suami berjuang untuk mengingatkan kesepakatan ini...
hehehehe.... heran bertengkar kok rajin,
(please cek Sibling Rivalry)

perjalanan selepas jam kantor,
berkumpul di kantor pusat Jl Sudirman....
bis berangkat puku 18.30....
berulang kali berhenti untuk melegakan perut dan lapor bumi,
sampai di kantor BRI Cilacap, pukul 05.00

sampai sudah disambut dengan sarapan pagi...

kami mandi dan makan pagi....
semuanya, dibuat nyaman :p
anak-anak tidak mengeluh biar pun mandi di toilet kantor
positif cara mereka mulai berpikir
walau si bapak banyak komentar...
"jangan mandi ambil air di bak ya....
gayungnya langsung ke kran yang mengalir saja"
tapi anak-anak cibang cibung saja... senang....

setelah segar... dan kenyang...
pose pose lah sebelum berangkat



berangkat lagi ke dermaga...

kota Cilacap... Sabtu pagi pukul 07.00,
sepi....
ah enaknya...
hhhmmm... jadi kebayang macet dan hingar bingarnya Jakarta...

baiklah,
ke Cilacap... refreshing jauhi kemacetan dan hingar bingar
sekalian ziarah....


sebelum berangkat ya sekali lagi pose...



berikut ini foto favorit saya niy,


masih saling mengganggu, bahkan untuk berfoto juga...
hhhmmm... anak-anak...

dengan kapal motor,
perjalanan selama 2 jam....
boleh ngantuk boleh tidur boleh potret-potret....




kebayang memang, kalau jadi terpidana
di hukum di pulau Nusakambangan...
sulit juga mau lari kabur
hehehe... bisa-bisa hilang arah, tersesat...
dan mengakibatkan mudah banget tertangkap lagi...
tapi, kalau di bandingkan Alcatraz...
ya (maaf) belum apa-apa... kalau ada narapidana niat amat sangat...
ah Nusakambangan sih cincay...
berenang sebentar juga sampai daratan....
kalau di Alcatraz... duh airnya dingin... jaraknya ke daratan juga jauuuuhhhh
(andai foto saya waktu tur ke Alcatraz tidak terdelete... tentu bisa tayang di sini)

kembali kepada perjalanan ziarah kita,
sampai di tempat...
ala mak panasnya pollllll..... Jakarta kalah panas...
tapi ini jauh lebih baik katanya, daripada kalau hujan...
daerah ini kalau hujan... becek, ojeg sulit jalan, licin....


ini pemberhentian perahu kita...
Pos TNI AL Klaces
kita disarankan untuk ke toilet, buang air kecil
karena setelah ini.... toilet adalah barang langka...
jadi kami mencari WC,
biasanya di rumah penduduk...
seadanya...
bayar serelanya... satu orang Rp. 1000,- cukup
jadi sangat beruntung kalau membawa tisue kering atau basah sendiri
karena tentu tidak ada layanan fasilitas ini bukan?
daripada lembab, lebih baik bawa tisu sendiri

setelah itu...
kita siap menuju Gua Maria...

kita punya pilihan,
berjalan kaki atau naik ojeg...
saya dan anak-anak memilih ziarah nyaman dengan naik ojeg...
sedang suami saya memilih ziarah dengan lebih serius, berjalan kaki...

hidup memang penuh pilihan....

itu foto ojeg anak-anak saya... sesaat mau mendaki

dengan ojeg, ke tempat tujuan membayar Rp 20.000,-
jadi kalau pulang pergi tinggal dikalikan dua saja....
perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit....
jalannya sempit...
kadang dengan alas jalan paving block,
mendekati tempatnya.... jalannya bebatuan, berkerikil....
yang membuat sepeda motor sangat riskan untuk tergelincir...
apalagi kalau papasan dengan motor lain...

yang horor lagi adalah kalau melewati parit kecil
yang disambung dengan sebilah papan
jadi kalau lewat papan kecil tipis itu kadang kita ikut tegang
nah yang paling heboh adalah ketika melalui jalan yang menanjak tajam
(pikirkan nanti pulangnya, pasti menukik tajam)

kadang was-was juga melihat tukang ojeg nya mengemudi
kok bisa masih ngebut ya?
heeedeeeh... ikutan deg-deg-an
takut jatuh....

tips nya untuk mencegah jatuh dari sepeda motor
(karena ada peserta yang terjatuh juga selama perjalanan menuju tempat ziarah)

jika memungkinkan menyetir... setir motor sendiri, pinjam dari tukang ojegnya (apalagi jika tukang ojegnya anak kelas 6 SD)
ramah dengan tukang ojegnya dan rayulah untuk perlahan
tawarkan apakah lebih baik kita turun saja saat tanjakan terjal atau lewat titian sempit
ajak bicara agar dia tidak serius fokus ngebut, agak teralihkan keinginan untuk ngebutnya dengan menikmati pembicaraan dengan kita
lain lain tips silakan berkreasi lah...
pada dasarnya kalau kita tegang, ketakutan... tukang ojegnya juga menjadi tegang
maka lebih baik waspada dan tenang....

jangan sangka perjalanan naik motor enak...
kita harus sabar,
karena badan kita ikut-ikutan mengerem atau menegang kalau mereka mengeraskan gas untuk ngebut, misalnya untuk nanjak
melalui jalan bebatuan...
bahkan ikut terhempas-hempas,
seperti sedang kegiatan off road
tentu badan sebaiknya direlakan saja untuk ikut naik turun terhempas di jok motor...
pijet menjadi prioritas berikutnya setelah sampai Jakarta lagi, hehehe....

nah kalau jalan kaki, seperti pilihan suami saya....
mungkin makan waktu sekitar 45-60 menit....
ini foto suami saya dari kejauhan....
paling akhir sampai, hehehe....
jauuuhhhh banget ya... untung kaosnya merah, jadi nyata diantara rimbunnya rumput dan semak :)


dijemput anak-anak, bak pahlawan kembali dari medan perang
hehehe.... hebat juga suami saya ya... kuat juga dia jalan lumayan jauh...


setelah anggota keluarga lengkap,
kami langsung masuk gua...


di gua itu...penerangan seadanya, diusahakan penduduk lokal
tanahnya becek, licin
perjuangan tersendiri untuk tidak terjatuh atau kepleset


kami mengadakan misa di dalam gua penuh stalagtit
suatu pengalaman baru...


yang memimpin misa adalah Romo Nicko OMI, pastor Paroki di Cilacap
syahdu...
sebelum misa, doa-doa yang di tulis di amplop atau di selembar kertas dibacakan oleh romo Nicko

saya senang mengikuti ziarah ini...
setelah perjuangan sampai ke tempat ini....
saya bisa hening....
bersyukur....
selalu ada pelangi kegembiraan diakhir perjuangan....

gua ini bukan milik pemda.... bukan milik gereja...
tapi milik Departemen Kehakiman...
karena berada di pulau Nusakambangan
(jadi mungkin itu ya ... menurut saya sih, kenapa perkembangan gua ini tidak terlalu sebaik gua Maria yang lain)

dulu...
gua ini adalah tempat para sipir Belanda berdoa...
setelah kemerdekaan... pemerintah Belanda memberitahukan pemerintah Indonesia
kalau dulu ada sebuah tempat yang sering digunakan untuk berdoa kepada bunda Maria...
oleh karenanya, pemerintah Indonesia meminta gereja Katolik untuk melacaknya...
dan ketemu lah....

ada satu bagian yang dari tetesan stalagtit membentuk bunda Maria
ada bagian mahkotanya dan jubahnya dengan tangan bunda yang merentang ke bawah...
hanya bagian itulah yang batuannya ada efek kristalnya....

amazing....

setelah selesai misa,
kami dijamu oleh kepala Dusun...
di rumahnya...
kali ini suami saya menyerah...
tidak jalan kaki tetapi naik ojeg....
dan demi amannya...
kali ini saya turun dari motor saat motor harus menukik tajam di sebuah turunan...

sampai di rumah pak Kadus...
terhidang pecel, mendoan, air kelapa muda dan teh manis hangat
kalau mau air es... bayar


mahal ternyata mengusahakan es di sana...
listrik juga terbatas...
membeli bahan-bahan makanan pun harus ke Jawa Barat, 1.5 jam  perjalanan...
susah juga hidup di sana ya....
jadi ingat Jakarta... ingat rumah....
bersyukur.....

lalu pukul 14.00 kami kembali ke Seleko


dengan situasi udara jauh lebih panas dan ombak lebih tinggi dibandingkan sewaktu berangkat tadi pagi...
wajar jika kelelahan dan tidur di atas perahu, digoyang-goyang perahunya,
apalagi disertai angin sepoi sepoi..... wah merupakan surga tersendiri...
hehehehe....

Hotel Tiga Intan Cilacap memiliki motto “PERFECT LOCATION WITH GREAT HOSPITALITY”. Pelataran yang asri mencerminkan kenyamanan serta kesejukan sebagai bagunan hotel tatanan nan elok. Ruang Receptionist sebagai The Nerve of Service. Nuansa lounge lobby untuk jamuan para tamu yang membutuhkan suasan nyaman menjdaikan mitra bisnis anda menjadi nyaman. Kamar Superior sebagai medium Class yang besih dan nyaman, Superior Twin Bed, Ruang tamu kamar suite yg dinamis, serta Bath Room dengan Buth Tub yg memanjakan anda untuk berendam dengan air panas untuk kebugaran Anda.
Lokasi
Jln. RE. Martadinata No. 192 Cilacap
Telp. 0282 - 520 866
Fasilitas
  • 3 Meeting Room
  • Kap. 30 Orang
  • Kap. 60 – 100 Orang
  • Kap. s/d 200 Orang
Tarif
> President Suite      Rp. 1.452.000 ,-
> Suite Room            Rp.    726.000 ,-
> Triple Room           Rp.    665.500 ,-
> Standart                Rp.   363.000 ,-
> Extra bed               Rp.     75.000 ,-
> Extra sarapan pagi max 2 Orang / kamar
Hotel Tiga Intan Cilacap
Jln. RE. Martadinata No. 192 Cilacap
Telp. 0282 - 520 866

Hotel Tiga Intan Cilacap
Jln. RE. Martadinata No. 192 Cilacap
Telp. 0282 - 520 866


Peta Lokasi Hotel Tiga Intan - Cilacap

Hotel tempat kami menginap adalah hotel Tiga Intan
kalau sudah malam Cilacap tidak ada lagi angkutan (kota), kecuali becak
jadi waktu kami mau membeli oleh2 dan ke alun-alun, repot...
jasa layanan taxi menjadi pilihan...
taxi juga sedikit banget di Cilacap hehehe....
jadi untuk antisipasi.... kami pesan untuk jemput dan antar ke hotel lagi....
ada argo, tetapi karena kota kecil mereka punya sistem sendiri
sekali naik taxi, kemanapun, minimal bayar Rp 25.000,-
jadi kalau cuma putar kota, berangkat dan pulangnya bayar taxi Rp. 50.000,-

malam itu kami beli oleh-oleh di toko Valerie, Jl Gatot Subroto
oleh-oleh yang khas Cilacap adalah stik sukun...
dari buah sukun di potong sepanjang korek api lalu di goreng
sukun banyak sekali pohonnya di Cilacap
jadi pantes juga sebagai cemilan favorit, khas Cilacap

sesampainya di hotel,
kami bersiap untuk ibadat sabda di kantor BRI Cilacap
dan kami tutup malam itu dengan ibadat sabda bersama,
dipimpin oleh Romo Nicko OMI lagi...


Romo Nikolaus Ola Paukoma, OMI
Tahbisan Imamat: 10 Juli 1993

keesokan harinya pagi-pagi setelah peserta yang mengikuti misa kembali ke hotel
kami pulang ke Jakarta
namun,
kami menuju obyek wisata Benteng Pendem dan Teluk Penyu terlebih dulu...
dan membeli oleh-oleh khas Cilacap di jalan Bakung

pukul 22.00 kami sampai kembali di kantor pusat,
dengan rasa syukur
saya bisa bersama-sama suami dan anak-anak
dan terlebih anak-anak bisa menunjukkan tekadnya,
untuk meminimalisir pertengkaran diantara mereka dan keluh kesah...
mereka belajar untuk bersyukur... dan bersikap positif...
terima kasih ya anak-anak atas keimanan kalian...  love you girls

foto berikut, adalah momen langka
karena sebelumnya
kedua anak saya ini di banyak kesempatan mudah untuk bertengkar
karena biasanya saling tarik urat leher dan membeliakkan mata
kalau gak saling teriak menyalahkan dan membela diri,
saling melototlah satu sama lain....


itu tadi adalah.... langka
jarang terjadi mereka bisa akur berdua, diskusi dengan tenang,
bersebelahan satu sama lain...
bandingkan keadaannya saat mereka dulu memang (aslinya) rukun,
damai, saling bermain bersama.....
tapi itu waktu mereka kecil.... hehehehe.... jaman prehistoric


cute kan mereka?
hihihiiii... ya itu adanya mereka
tetap saja mereka bersaudara... sedarah... sekandung...
bertengakar ok... bersatu ok....
pokoknya please, saling menjaga ya girls....

http://pinmagicaljourney.blogspot.com/2012/05/ziarah-ke-gua-maria-klaces-bendung.html



Gua Maria Nusakambangan - Cilacap



Dua jam menyusuri Segara Anakan dengan naik kapal tempel yang sanggup memuat 15 orang ini, terasa mengasyikkan. Apalagi hutan bakau di tepi teluk pun bisa menjadi pemandangan alam tersendiri sebelum mata menembus 4 lokasi bui Nusakambangan nun jauh di sana. Menurut Pak Jono (lengkapnya Bapak FX Soedjana) yang menjadi pemandu para peziarah, dahulu ada 9 Lembaga Pemasyarakatan (LP). Namun, sejak 1986 tinggal 4, yaitu LP Batu, Besi, Kembang Kuning, dan Permisan.

Menurut Pak Jono, ramainya peziarahan ke Gua Maria Nusakambangan ini tak luput dari pertemuan beberapa ide yang bisa sinkron. Awalnya adalah gagasan dari Mantan Bupati Cilacap, Bapak Hery Tabri Karta, SH yang sebelum menjabat sebagai Bupati pernah dinas sebagai kopasus di Nusakambangan. Ia pada Februari 2002 meminta agar camat pembantu Klaces menyelidiki kemungkinan pengembangan wilayah Nusakambangan sebagai wisata bahari. Sebagai orang yang tahu persis lokasi Nusakambangan, Bapak Hery Tabri Karta, SH merasa sayang kalau Cilacap hanya terkenal dengan Teluk Penyu saja.
Ide lain dari Motehan atau Ujung Alam. Terbetik berita bahwa Bapak Darmono, seorang pemeluk aliran kepercayaan, yang menjadi salah satu penduduk asli desa Ujung Alam bermimpi. Dalam mimpinya ia ditampaki oleh kakeknya yang asli Nusakambangan. Kakek dari Pak Darmono itu berpesan agar Darmono merawat ibunya yang ada di gua Klaces. Oleh Darmono hal itu diartikan sebagai wasiat untuk memelihara makam leluhurnya. Namun, di gua Klaces tidak ditemukan adanya makam.

Dua hal itu sampai ke telinga Bapak Uskup Purwokerto, Mgr. Julius Sunarka, SJ. Dari situlah Bapak Uskup dengan pertimbangan tertentu meminta Romo Julius Puja Sudaryatno Pr. yang bekerja di Stasi Sidareja, Cilacap mencari sisik-melik tentang gua-gua yang ada di Klaces.
Demikianlah pada bulan Februari 2002 selama 3 hari, Rm. Puja bersama Tim yang terdiri dari warga masyarakat setempat mengadakan penyelidikan dari gua yang satu ke gua yang lain. Maklum di Klaces ini ada begitu banyak gua yang satu sama lain terhubung dengan sungai. Warga yang ikut dalam tim pencarian itu adalah Bapak Miarta (Kepala Desa Klaces), Bapak Sukadi, Bapak Slamet, Bapak Amad, Bapak Drs. Rui Munis, Junedi, Sunarya, Jana, dan Bapak Satmaka (mantan Camat).


Jalan Salib 

Mulut Gua

Diduga Tempat Sembahyang Belanda
Menurut pengakuan Sukadi yang menjadi salah satu anggota tim penyelidik, ia menemukan besi berupa salib di gua Bendung (menurut warga Klaces) atau gua Macan (menurut warga Nusakambangan). Namun, entah mengapa sekarang benda itu tak ditemukan lagi di dalam gua tersebut. Dari situlah dan didukung oleh “ornamen” di dalam gua, seperti patung Bunda Maria yang sedang menggendong kanak-kanak Yesus yang terbentuk dari stalaktit-stalakmit, relief keluarga kudus pada dinding gua, perjamuan terakhir, 3 butiran awal dalam rosario, pedang Santo Hadrianus dan rumah pusakanya, diduga bahwa pada zaman Belanda gua itu digunakan untuk berdoa. Sebab, juga ditemukan jejak seperti bekas altar. Di dalam gua juga terdapat sendang tempat peziarah bisa mengambil air suci yang bersih dan siap diminum.

Menumbuhkan Harapan Masyarakat
Sampai di Klaces, peziarah akan menemukan pos penjagaan marinir. Rupanya setiap tamu yang datang memang harus lapor dahulu ke pos penjagaan marinir itu. Untuk sampai ke Gua Maria, peziarah bisa memilih: mau naik ojek atau jalan kaki. Sebelumnya Pak Jono sudah memberi tahu kalau mau jalan kaki boleh, yaitu sepanjang 4 km menyusuri jalan setapak yang naik turun. Mau naik ojek juga silakan. Tarifnya, naik (= berangkat) Rp 15.000,-, sedangkan turun (pulang) Rp 10.000,- Diakui oleh Sukadi maupun Pak Jono bahwa dengan adanya peziarahan Gua Maria ini memberi harapan baru bagi warga Klaces. Mereka merasa bisa meningkatkan penghasilan mereka. Secara kuantitatif saja, kini jumlah sepeda motor untuk mengojek sudah meningkat menjadi 26 dari sebelumnya hanya 8 kendaraan. Bahkan, masih menurut Sukadi, kalau pas ramai tak segan-segan penduduk setempat menyewa sepeda motor demi melayani para peziarah.


Rosario

Gua Sendang

Sementara ibu-ibu PKK Klaces siap melayani rombongan peziarah untuk menyediakan konsumsinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial bila peziarah jajan sendiri-sendiri di warung penduduk. Namun, kalau kelapa muda yang memang banyak tersedia di Klaces bisa dibeli tanpa harus lewat organisasi.

Tidak Ada Kristenisasi
Diakui sendiri oleh warga setempat bahwa tidak benar tuduhan sementara pihak bahwa dengan adanya Gua Maria ini warga akan dikatolikkan atau dikristenkan. Sebab, di Klaces sendiri yang Katolik bisa dihitung dengan jari. Itu pun adalah pendatang, entah sebagai pegawai Pemda atau pun guru. Dan, yang tak kalah menariknya adalah fenomena akan hangatnya sambutan masyarakat setempat. Sambutan hangat itu tidak hanya di bibir namun juga diwujudkan oleh kepedulian warga setempat yang diwakili oleh para tukang ojek. Mereka setiap Jumat, setelah selesai menjalankan shalat Jumat, mengadakan kerja bakti di sekitar Gua. Pelaksanaan kerja bakti dikoordinasi langsung oleh Bapak Slamet yang menjadi Kadus (Kepala Dusun) setempat.

Bisa Petromaks, Bisa Diesel
Peziarah atau pemimpin rombongan biasanya sebelum sampai di gua, lebih dahulu diajak mampir ke rumah Pak Darmo, yang menjadi juru kunci Gua Maria. Rumahnya sangat sederhana. Pak Darmo, pria setengah baya dengan badan tegap siap menghantar peziarah dalam jumlah kecil cukup dengan membawa 2 lampu petromaks. Namun, kalau rombongan berjumlah besar, Panitia menyediakan diesel untuk penerangan di dalam gua.
Sebelum masuk gua peziarah harus menunggu lebih dahulu Pak Darmo untuk menyalakan petromaks. Di dekat pintu masuk gua ada WC dan sumur baru. Pak Jono menuturkan bahwa untuk membuat WC dan sumur yang “hanya” seperti itu saja butuh dana tak kurang dari Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah). “Hal itu tak lain karena mahalnya transportasi untuk mendatangkan material ke lokasi. Itu pun sudah dengan bantuan petugas Nusakambangan,” tambah Pak Jono. “Sedangkan, tempat penjualan ini merupakan sumbangan dari seorang donatur dari Jakarta yang tak mau disebut namanya,” terangnya pula.
Gua yang dari luar hanya tampak sebesar lubang yang tak sampai 1,5 meter diameternya itu, ternyata di dalamnya cukup luas. Di dalam gua, peziarah akan terkesima melihat keelokan patung Bunda Maria yang sedang menggendong kanak Yesus. Bukan karena hasil pahatan tangan manusia, namun oleh “pahatan” alam lewat proses pertemuan stalaktit dan stalakmit. Bapak Uskup Purwokerto menambahkan, “Kalau toh mata badani ini tidak bisa menangkap hal itu sebagai patung Bunda Maria yang menggendong kanak-kanak Yesus, yang lebih penting mata batin kita menangkap bahwa di sini hadir Bunda Maria bersama dengan Yesus Sang Putera yang siap mendengarkan doa-doa kita.” Hal itu dikatakan Bapak Uskup ketika meninjau dan memberkati tempat peziarahan tersebut 16 Mei 2002. “Patung” itu akan relatif jelas bila dipandang dari samping kanan, sehingga tampak Bunda Maria yang menatap anggun, seolah ke masa depan yang ceria berkat jasa penyelamatan yang dibawa Sang Juru Selamat yang ada dalam gendongannya.
Di dalam gua juga ada sungai (Jw. kali asat) kering. Sungai itu menghubungkan gua yang satu dengan lainnya. Sebab, seperti dituturkan Pak Jono di Nusakambangan ini tak kurang ada 9 gua yang semuanya terhubung dengan ‘kali asat’ itu. Dan, pada Mei 2003 yang lalu Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan juga telah mengganti jembatan lama yang sudah lapuk.


Perlu Dana untuk Pemeliharaan dan Pengembangan 
Rupanya Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan ini memang butuh dana tidak sedikit untuk pemeliharaan maupun pengembangan Gua Maria ini. Apalagi bagian atas gua tersebut sudah gundul sehingga dinding-dinding gua yang semula putih bak kristal kini tampak mulai mencoklat. Barangkali disebabkan oleh rembesan air bercampur tanah. Rupanya perlu dana dan kerja keras untuk reboisasi bagian atas gua. Meskipun lokasi ini merupakan milik Departemen Kehakiman, kiranya tidak perlu menyurutkan kemauan baik kita untuk ikut memelihara tempat ziarah yang unik, antik, dan asri ini. Itu sebabnya Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan juga membuka rekening bagi siapa saja yang tergerak untuk membantu dana pemeliharaan dan pengembangannya. Silakan transfer ke Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan, Rekening BCA Cab. Cilacap, nomor 096.035.6446, atas nama Romo Agung Pralebda, Pr./H. Suwardi.

Cukup Luas untuk Doa Bersama
Di dalam gua itu peziarah memang bisa mengadakan renungan, doa bersama atau pun merayakan Ekaristi. Saat festival Maria bulan Mei yang lalu ratusan peziarah juga merayakan Ekaristi bersama Bapak Uskup di tempat ini. Dan, secara alami pun gua ini menyediakan bahan-bahan renungan. Misalnya, relief keluarga kudus, bisa dimanfaatkan untuk renungan tentang keluarga kristiani, entah dengan tema keluarga retak masyarakat rusak, atau sekadar untuk membarui janji nikah. Demikian pun di depan patung perjamuan terakhir bisa kita renungkan tentang penghayatan kita akan Ekaristi dalam keseharian hidup kita. Bahkan, patung satwa yang ada di gua itu juga bisa kita manfaatkan untuk renungan tentang keajaiban karya ciptaan Tuhan dan panggilan manusia untuk memelihara dunia ciptaan ini yang akhir-akhir ini dirusakkan oleh aneka polusi dan sejumlah tindakan yang tak bertanggungjawab. Pedang Santo Hadrianus beserta rumah pusakanya bisa dimanfaatkan untuk merenungkan makna kemartiran di dunia dewasa ini yang tampaknya semakin pudar. Mungkin dengan dalih maunya menggarami dunia, namun jadinya malah dunia yang menggarami kita. Dengan kata lain, kita menjadi larut dan hanyut dalam semangat dunia.

Satu-satunya yang Unik Alami
Kalau Patung Bunda Maria ini sungguh dipelihara beserta gua dengan segala kekayaan ornamen sucinya itu, gua Maria ini bisa menjadi The Only One, satu-satunya gua Maria yang unik dan alami. Peziarah biasanya akan bertanya-tanya pada awalnya, mengapa lubang guanya cuma segitu, cuma nyumplik layaknya sarang macan. Itu sebabnya penduduk Nusakambangan menyebutnya sebagai Gua Macan. Sedangkan penduduk Klaces menyebutnya sebagai gua bendung, sebab di dalamnya ada sungai yang terbendung. Kemudian, yang membuat terkesima adalah patung Bunda Maria. Sebab, peziarah umumnya sudah terlanjur akrab dengan patung Maria yang konvensional, yang biasanya merupakan hasil pahatan manusia. Sementara, kini yang tampak di depan mata adalah “patung” Bunda Maria hasil pahatan alam. Fantastik! Lebih-lebih tidak hanya patung Bunda Maria yang ada di dalamnya, namun juga patung dan relief suci lainnya.

Perjamuan Terakhir 

Satwa

Akhirnya, merupakan tantangan kita semua, bagaimana memelihara dan mengembangkan tempat suci yang elok ini tanpa meninggalkan unsur dan sifat naturalnya seperti dipesankan Bapak Uskup Purwokerto. “Kesan dan sifat alami itu harus semaksimal mungkin dipertahankan agar warna dan suasana ziarah tetap terpelihara,” ungkap Bapak Uskup seperti ditirukan oleh Pak Jono. Dan yang serius tentu adalah masalah mengatasi tanah di atas gua yang sudah gundul. Sejauh mana masih bisa ditumbuhkan kembali lewat program reboisasi, agar tanah di atasnya tidak semakin tererosi dan mengotori dinding-dinding gua dengan segala keelokan yang ada di dalamnya.

Doa kepada Bunda Penolong Abadi
Bunda Penolong Abadi, Engkau yang terberkati yang dikasihi Allah. Engkau tidak hanya menjadi Bunda Penebus, tetapi juga menjadi Bunda kami yang ditebus-Nya. Kami bersujud di hadapanmu sebagai anak-anak yang kaukasihi. Jagalah dan peliharalah selalu diri kami. Sebagaimana engkau lakukan terhadap Puteramu, demikian jugalah hendaknya terhadap kami. Jadilah engkau Bunda kami yang setiap saat sudi menolong kami. Karena Allah yang mahakuasa telah melakukan hal-hal besar bagimu dan belaskasih-Nya dari zaman ke zaman berlaku bagi mereka yang mencintai-Nya. Ketakutan kami yang paling dalam ialah kalau di masa pencobaan ini kami gagal menyerukan namamu dan kami menjadi anak yang hilang. Bila kami menghadapi situasi seperti itu, ya Bunda, bergegaslah datang, ya Bunda terkasih, untuk mencurahkan belaskasihan dan ampunanmu bagi dosa-dosa kami agar kami sanggup mencintai Yesus Puteramu yang menjadi penyalur segala rahmat kini dan sepanjang masa. Amin.


Rute Perjalanan:

  • Dari arah Yogyakarta Anda mengambil jalur Selatan ke arah Banyumas. Sesampainya di Buntu belok ke kiri ke arah Cilacap, kemudian menuju ke Sleko, dan kapal akan siap menghantar Anda ke Ds. Klaces. Dari Klaces Anda akan dihantar ke lokasi Gua Maria dengan naik ojek atau jalan kaki 4 km.
  • Dari Semarang Anda lewat Purbalingga - Sokaraja - Banyumas lalu Buntu, terus ke Cilacap. Selanjutnya seperti no. 1.
  • Dari Jakarta - Purwokerto -Sokaraja - Banyumas - Buntu - Cilacap dan selanjutnya seperti no. 1 Atau: Jakarta - Cirebon - Ajibarang - Wangon - Cilacap dan selanjutnya seperti no. 1.


Informasi: 
Ibu Dra. Christina Sriwahyuni, Apt.,
Ketua Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan,
Jl. Gatot Subroto 35 A, Cilacap, Jawa Tengah.
Telp. (0282) 533018 atau HP. 08122724540.

http://www.guamaria.info/ziarah-kemana/14-lokasi-gm-jateng/87-gua-maria-nusakambangan-cilacap




Ziarah ke Gua Maria di Pulau Nusakambangan

Kisah Peziarah

Ziarah ke gua Maria di pulau Nusa Kambangan 

Bulan Mei dikenal umat Katolik sebagai bulan Maria. Dalam bulan ini banyak umat yang melakukan ziarah, secara perorangan maupun rombongan, semisal ke Sendangsono di Jawa Tengah. Ada banyak tempat ziarah di negeri kita ini, tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTT, salah satu diantaranya di Pulau Nusa Kambangan.


Siapa di antara Anda yang tidak mengenal P. Nusa Kambangan yang sejak zaman dahulu terkenal dengan rumah penjara para terpidana kelas berat ? Hotel ”prodeo” untuk para penjahat terpidana ini dibangun sejak era penjajahan Belanda dahulu. Tetapi janganlah Anda mengasosiasikan P. Nusa Kambangan dengan keseraman rumah penjara melulu. Ada sisi lain yang cukup menarik dan menggelitik untuk dilirik dan ditilik, khususnya untuk kita segenap umat Katolik.


Tidak disangka di bagian barat P. Nusa Kambangan, jauh sekali dari lokasi rumah-rumah penjara, terdapat gua alam yang cocok untuk dijadikan tempat ziarah. Lokasi gua termasuk dalam paroki Cilacap atau keuskupan Purwokerto. Gua Maria di P. Nusa Kambangan ini relatif masih baru, belum banyak dikenal umat Katolik seperti gua Maria lainnya, terbukti dengan masih sangat sedikit pengunjungnya. Sebenarnya gua Maria ini juga adalah peninggalan jaman Belanda dan masyarakat sekitar juga sudah lama tahu tentang keberadaan gua Maria ini tetapi anehnya justru banyak kalangan Katolik yang tidak tahu, ini mungkin karena kurangnya informasi tentang gua Maria ini akibat jauh dan cukup sulitnya transportasi untuk menuju kesana. Akibatnya baru pada tahun 2000an gua Maria ini baru dikenal orang.


Bagaimana mencapai lokasi Gua Maria di P. Nusa Kambangan ini? Berikut kami ceriterakan pengalaman kami ziarah ke gua tersebut pada awal Juni 2004 yang lalu. Ada 2 rute yang dapat dilalui, yaitu lewat Cilacap, naik perahu motor melintasi Segara Anakan selama 2 jam menuju desa Klaces,lalu jalan kaki atau lewat Pangandaran – kec. Kalipucang – dermaga Majingklak – terus naik perahu motor selama 15 menit ke P. Nusa Kambangan desa Klaces. Kemudian perjalanan diteruskan dengan jalan kaki selama 1 jam menuju gua. Karena kami berangkat dari Bandung maka kami memilih rute kedua tersebut.


Setelah menginap di Pangandaran, pagi jam 6.30 kami berangkat menuju dermaga Majingklak (50 menit dengan mobil) untuk jarak 35 km. Sesuai petunjuk teman, kami parkir di luar dermaga lalu mencari sewaan kapal motor untuk ke desa Klaces di seberang pulau sana. Tidak ada pelayaran reguler ke Klaces, maka harus sewa perahu motor pulang pergi plus tunggu 3–4 jam selama ziarah. Berapa ongkos sewa perahu motor itu tergantung banyaknya calon penumpang. Satu perahu dengan kapasitas 15 orang ditawarkan ongkos 100 ribu, tapi harga tersebut masih dapat dinegosiasikan.


Kebanyakan tukang perahu di Majingklak ini mengenal Gua Maria di P. Nusa Kambangan. Pelayaran 15 menit melintasi Segara Anakan cukup aman dan menyenangkan karena tidak ada ombak besar seperti halnya di pantai Pangandaran. Tiba di desa Klaces kami merapat di dermaga di depan pos TNI AL dan melapor kepada petugas jaga mengenai maksud kedatangan kami untuk ziarah. Selanjutnya dimulailah safari jalan kaki ke lokasi gua. Selama 10 menit berjalan di atas paving block di desa Kampung Laut. Dahulu kampung ini benar-benar diatas laut Segara Anakan, tetapi karena proses pendangkalan kampung tersebut kini berubah menjadi daratan penuh lumpur saat laut surut dan menjadi rawa kalau laut pasang. Lepas dari jalan paving block, kami melewati jalan “aspal bambu”, yaitu anyaman di atas lumpur dengan tiang penyangga dari bambu pada tanah berlumpur, sepanjang 200 m. Selanjutnya melewati jalan setapak yang menanjak diantara alang-alang setinggi orang, kondisi jalan licin, naik turun. Untung kami pakai sepatu kets. Sepanjang jalan setapak ini tidak kami temukan kampung hanya lokasi gua.


Alternatif lain untuk mencapai lokasi gua adalah dengan naik ojek (sepeda motor), tapi jumlahnya amat terbatas. Kami datang berempat, ojek yang tersedia cuma 2 buah. Tarifnya lumayan mahal, per orang Rp. 25 ribu pp dan menunggu. Kalau Anda datang kesana berombongan jangan harap bisa menikmati fasilitas ini. Naik ojek ini ternyata cukup mendebarkan juga mengingat medan dan jalan licin seperti kami gambarkan diatas. Pengalaman istri saya kemarin saking takutnya kalau jatuh maka turun dari ojek dan memilih jalan kaki sampai 25 kali.


Mulut gua terletak pada suatu bukit dengan ketinggian sekitar 10m, naik tanpa tangga, licin lagi. Lebar mulut gua sekitar 2m dan tinggi 3m, di dalam gua gelap gulita. Untung sekali Pak Darmo (50th) dan mengaku sudah dibaptis sekeluarga, yang ditugasi menjaga gua dan sekaligus penunjuk jalan telah menyediakan 2 buah lampu petromaks, lumayan untuk penerangan di dalam gua. Harus ekstra hati-hati sewaktu masuk ke dalam gua karena jalannya menurun, licin, becek, serta agak gelap. Seperti halnya gua di tempat lain, banyak stalagtit dan stalagmit yang sungguh mempesona menghiasi ruangan gua. Bekal lampu senter sangat menolong menuruni gua dan menikmati keindahan didalam gua.


Salah satu stalagtit dan stalagmit menggambarkan bentuk seorang wanita berdiri memakai mahkota dan berjubah yang mengatupkan kedua tangannya, setinggi 4m. Hal ini mengingatkan kita pada patung Bunda Maria. Di bawah “patung” inilah biasanya peziarah berdoa dan menyalakan lilin pada meja sederhana yang tersedia. Kesunyian dan keheningan didalam gua benar-benar membuat berdoa menjadi lebih khusuk. Suatu pengalaman yang mengesankan dan tak terlupakan.


Lantai gua cukup lebar, dapat menampung sekitar 50 orang, langit-langitnya agak tinggi sehingga tidak terlalu sesak untuk bernafas. Jangan kaget ketika keluar dari dalam gua pakaian menjadi basah bukan karena keringat tetapi lantaran kena tetesan air dari langit-langit gua. Kami berada di gua sekitar satu jam. Jam 10.10 kami keluar gua dan kembali ke dermaga Klaces melalui jalan yang sama. Pengalaman ziarah yang benar-benar mengesankan dan menantang. Tertarikkah Anda dengan ziarah ini? Silahkan!

http://guamariaklaces.blogspot.com/2009/05/kisah-peziarah.html



Ditemukan Goa Maria Peninggalan Belanda di Nusakambangan

Ditemukan Goa Maria

PURWOKERTO: Ditemukan Goa Maria peninggalan Belanda di Nusakambangan.


Ditemukan sebuah Goa Maria peningalan jaman Belanda di desa Kleces, Nusakambangan, yang termasuk wilayah Keuskupan Purwokerto.
NUSAKAMBANGAN, 19 MEI 2002 (i-MIRIFICA)

Ditemukan sebuah Goa Maria peningalan jaman Belanda di desa Kleces, Nusakambangan, yang termasuk wilayah Keuskupan Purwokerto.

Kabar Goa Maria Nusakambanganini dicuatkan oleh Bapak Camat Klaces waktu berkunjung ke Romo Pujo, pastor paroki Sidareja dan minta penjajagan untuk pengembangan goa Maria itu sebagai tempat ziarah. Demikian laporan yang diterima i-MIRIFICA dari SERAYU-NET, jaringan JAKUSI Keuskupan Purwokerto.

Mgr. J. Sunarka, S.J., Uskup Purwokerto, menyempatkan diri menilik Gua Maria itu bersama rombongan keuskupan, Kamis 16 Mei yang lalu. “Aneh sekali bahwa masyarakat mayoritas sudah tahu adanya Goa Maria tinggalan Belanda, dan kita-kita orang katolik baru mendengar akhir-akhir ini,” tandas Romo P. Sigit Pramudji, Pr, Vikjen Keuskupan Purwokerto yang ikut dalam rombongan tersebut.

Berita adanya Goa Maria ini disambut masyarakat setempat, khususnya para pejabat pemerintah lokal, dengan gembira, karena diharapkan akan meningkatkan ekonomi daerah nanti kalau banyak orang katolik yang akhir-akhir ini getol berziarah akan berbondong-bondong kesana.

Kendati Gua Maria ini memberikan prospek cerah bagi pengenalan agama katolik di daerah tersebut di samping bagi pemberdayaan masyarakat setempat, Keuskupan Purwokerto perlu mempertimbangkan agar tidak terjadi komersialisasi agama dan agar proyek tersebut sungguh-sungguh memberdayakan rakyat setempat, dan bukan segelintir orang bermodal yang dengan cepat akan bisa memanfatkan tempat tourisme tersebut.

Begitu tandas Romo Vikjen, mengingat pengalaman pendirian tempat-tempat ziarah di daerah lain yang telah mengundang kritik pedas dari kalangan umat katolik sendiri, karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas perencanaan dan pelaksanaanya.

http://guamariaklaces.blogspot.com/2009/05/purwokerto-ditemukan-goa-maria.html