Dua jam menyusuri Segara Anakan dengan naik kapal tempel yang sanggup memuat 15 orang ini, terasa mengasyikkan. Apalagi hutan bakau di tepi teluk pun bisa menjadi pemandangan alam tersendiri sebelum mata menembus 4 lokasi bui Nusakambangan nun jauh di sana. Menurut Pak Jono (lengkapnya Bapak FX Soedjana) yang menjadi pemandu para peziarah, dahulu ada 9 Lembaga Pemasyarakatan (LP). Namun, sejak 1986 tinggal 4, yaitu LP Batu, Besi, Kembang Kuning, dan Permisan.
Menurut Pak Jono, ramainya peziarahan ke Gua Maria Nusakambangan ini tak luput dari pertemuan beberapa ide yang bisa sinkron. Awalnya adalah gagasan dari Mantan Bupati Cilacap, Bapak Hery Tabri Karta, SH yang sebelum menjabat sebagai Bupati pernah dinas sebagai kopasus di Nusakambangan. Ia pada Februari 2002 meminta agar camat pembantu Klaces menyelidiki kemungkinan pengembangan wilayah Nusakambangan sebagai wisata bahari. Sebagai orang yang tahu persis lokasi Nusakambangan, Bapak Hery Tabri Karta, SH merasa sayang kalau Cilacap hanya terkenal dengan Teluk Penyu saja.
Ide lain dari Motehan atau Ujung Alam. Terbetik berita bahwa Bapak Darmono, seorang pemeluk aliran kepercayaan, yang menjadi salah satu penduduk asli desa Ujung Alam bermimpi. Dalam mimpinya ia ditampaki oleh kakeknya yang asli Nusakambangan. Kakek dari Pak Darmono itu berpesan agar Darmono merawat ibunya yang ada di gua Klaces. Oleh Darmono hal itu diartikan sebagai wasiat untuk memelihara makam leluhurnya. Namun, di gua Klaces tidak ditemukan adanya makam.
Dua hal itu sampai ke telinga Bapak Uskup Purwokerto, Mgr. Julius Sunarka, SJ. Dari situlah Bapak Uskup dengan pertimbangan tertentu meminta Romo Julius Puja Sudaryatno Pr. yang bekerja di Stasi Sidareja, Cilacap mencari sisik-melik tentang gua-gua yang ada di Klaces.
Demikianlah pada bulan Februari 2002 selama 3 hari, Rm. Puja bersama Tim yang terdiri dari warga masyarakat setempat mengadakan penyelidikan dari gua yang satu ke gua yang lain. Maklum di Klaces ini ada begitu banyak gua yang satu sama lain terhubung dengan sungai. Warga yang ikut dalam tim pencarian itu adalah Bapak Miarta (Kepala Desa Klaces), Bapak Sukadi, Bapak Slamet, Bapak Amad, Bapak Drs. Rui Munis, Junedi, Sunarya, Jana, dan Bapak Satmaka (mantan Camat).
Jalan Salib
Mulut Gua
Diduga Tempat Sembahyang Belanda
Menurut pengakuan Sukadi yang menjadi salah satu anggota tim penyelidik, ia menemukan besi berupa salib di gua Bendung (menurut warga Klaces) atau gua Macan (menurut warga Nusakambangan). Namun, entah mengapa sekarang benda itu tak ditemukan lagi di dalam gua tersebut. Dari situlah dan didukung oleh “ornamen” di dalam gua, seperti patung Bunda Maria yang sedang menggendong kanak-kanak Yesus yang terbentuk dari stalaktit-stalakmit, relief keluarga kudus pada dinding gua, perjamuan terakhir, 3 butiran awal dalam rosario, pedang Santo Hadrianus dan rumah pusakanya, diduga bahwa pada zaman Belanda gua itu digunakan untuk berdoa. Sebab, juga ditemukan jejak seperti bekas altar. Di dalam gua juga terdapat sendang tempat peziarah bisa mengambil air suci yang bersih dan siap diminum.
Menumbuhkan Harapan Masyarakat
Sampai di Klaces, peziarah akan menemukan pos penjagaan marinir. Rupanya setiap tamu yang datang memang harus lapor dahulu ke pos penjagaan marinir itu. Untuk sampai ke Gua Maria, peziarah bisa memilih: mau naik ojek atau jalan kaki. Sebelumnya Pak Jono sudah memberi tahu kalau mau jalan kaki boleh, yaitu sepanjang 4 km menyusuri jalan setapak yang naik turun. Mau naik ojek juga silakan. Tarifnya, naik (= berangkat) Rp 15.000,-, sedangkan turun (pulang) Rp 10.000,- Diakui oleh Sukadi maupun Pak Jono bahwa dengan adanya peziarahan Gua Maria ini memberi harapan baru bagi warga Klaces. Mereka merasa bisa meningkatkan penghasilan mereka. Secara kuantitatif saja, kini jumlah sepeda motor untuk mengojek sudah meningkat menjadi 26 dari sebelumnya hanya 8 kendaraan. Bahkan, masih menurut Sukadi, kalau pas ramai tak segan-segan penduduk setempat menyewa sepeda motor demi melayani para peziarah.
Rosario
Gua Sendang
Sementara ibu-ibu PKK Klaces siap melayani rombongan peziarah untuk menyediakan konsumsinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial bila peziarah jajan sendiri-sendiri di warung penduduk. Namun, kalau kelapa muda yang memang banyak tersedia di Klaces bisa dibeli tanpa harus lewat organisasi.
Tidak Ada Kristenisasi
Diakui sendiri oleh warga setempat bahwa tidak benar tuduhan sementara pihak bahwa dengan adanya Gua Maria ini warga akan dikatolikkan atau dikristenkan. Sebab, di Klaces sendiri yang Katolik bisa dihitung dengan jari. Itu pun adalah pendatang, entah sebagai pegawai Pemda atau pun guru. Dan, yang tak kalah menariknya adalah fenomena akan hangatnya sambutan masyarakat setempat. Sambutan hangat itu tidak hanya di bibir namun juga diwujudkan oleh kepedulian warga setempat yang diwakili oleh para tukang ojek. Mereka setiap Jumat, setelah selesai menjalankan shalat Jumat, mengadakan kerja bakti di sekitar Gua. Pelaksanaan kerja bakti dikoordinasi langsung oleh Bapak Slamet yang menjadi Kadus (Kepala Dusun) setempat.
Bisa Petromaks, Bisa Diesel
Peziarah atau pemimpin rombongan biasanya sebelum sampai di gua, lebih dahulu diajak mampir ke rumah Pak Darmo, yang menjadi juru kunci Gua Maria. Rumahnya sangat sederhana. Pak Darmo, pria setengah baya dengan badan tegap siap menghantar peziarah dalam jumlah kecil cukup dengan membawa 2 lampu petromaks. Namun, kalau rombongan berjumlah besar, Panitia menyediakan diesel untuk penerangan di dalam gua.
Sebelum masuk gua peziarah harus menunggu lebih dahulu Pak Darmo untuk menyalakan petromaks. Di dekat pintu masuk gua ada WC dan sumur baru. Pak Jono menuturkan bahwa untuk membuat WC dan sumur yang “hanya” seperti itu saja butuh dana tak kurang dari Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah). “Hal itu tak lain karena mahalnya transportasi untuk mendatangkan material ke lokasi. Itu pun sudah dengan bantuan petugas Nusakambangan,” tambah Pak Jono. “Sedangkan, tempat penjualan ini merupakan sumbangan dari seorang donatur dari Jakarta yang tak mau disebut namanya,” terangnya pula.
Gua yang dari luar hanya tampak sebesar lubang yang tak sampai 1,5 meter diameternya itu, ternyata di dalamnya cukup luas. Di dalam gua, peziarah akan terkesima melihat keelokan patung Bunda Maria yang sedang menggendong kanak Yesus. Bukan karena hasil pahatan tangan manusia, namun oleh “pahatan” alam lewat proses pertemuan stalaktit dan stalakmit. Bapak Uskup Purwokerto menambahkan, “Kalau toh mata badani ini tidak bisa menangkap hal itu sebagai patung Bunda Maria yang menggendong kanak-kanak Yesus, yang lebih penting mata batin kita menangkap bahwa di sini hadir Bunda Maria bersama dengan Yesus Sang Putera yang siap mendengarkan doa-doa kita.” Hal itu dikatakan Bapak Uskup ketika meninjau dan memberkati tempat peziarahan tersebut 16 Mei 2002. “Patung” itu akan relatif jelas bila dipandang dari samping kanan, sehingga tampak Bunda Maria yang menatap anggun, seolah ke masa depan yang ceria berkat jasa penyelamatan yang dibawa Sang Juru Selamat yang ada dalam gendongannya.
Di dalam gua juga ada sungai (Jw. kali asat) kering. Sungai itu menghubungkan gua yang satu dengan lainnya. Sebab, seperti dituturkan Pak Jono di Nusakambangan ini tak kurang ada 9 gua yang semuanya terhubung dengan ‘kali asat’ itu. Dan, pada Mei 2003 yang lalu Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan juga telah mengganti jembatan lama yang sudah lapuk.
Perlu Dana untuk Pemeliharaan dan Pengembangan
Rupanya Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan ini memang butuh dana tidak sedikit untuk pemeliharaan maupun pengembangan Gua Maria ini. Apalagi bagian atas gua tersebut sudah gundul sehingga dinding-dinding gua yang semula putih bak kristal kini tampak mulai mencoklat. Barangkali disebabkan oleh rembesan air bercampur tanah. Rupanya perlu dana dan kerja keras untuk reboisasi bagian atas gua. Meskipun lokasi ini merupakan milik Departemen Kehakiman, kiranya tidak perlu menyurutkan kemauan baik kita untuk ikut memelihara tempat ziarah yang unik, antik, dan asri ini. Itu sebabnya Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan juga membuka rekening bagi siapa saja yang tergerak untuk membantu dana pemeliharaan dan pengembangannya. Silakan transfer ke Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan, Rekening BCA Cab. Cilacap, nomor 096.035.6446, atas nama Romo Agung Pralebda, Pr./H. Suwardi.
Cukup Luas untuk Doa Bersama
Di dalam gua itu peziarah memang bisa mengadakan renungan, doa bersama atau pun merayakan Ekaristi. Saat festival Maria bulan Mei yang lalu ratusan peziarah juga merayakan Ekaristi bersama Bapak Uskup di tempat ini. Dan, secara alami pun gua ini menyediakan bahan-bahan renungan. Misalnya, relief keluarga kudus, bisa dimanfaatkan untuk renungan tentang keluarga kristiani, entah dengan tema keluarga retak masyarakat rusak, atau sekadar untuk membarui janji nikah. Demikian pun di depan patung perjamuan terakhir bisa kita renungkan tentang penghayatan kita akan Ekaristi dalam keseharian hidup kita. Bahkan, patung satwa yang ada di gua itu juga bisa kita manfaatkan untuk renungan tentang keajaiban karya ciptaan Tuhan dan panggilan manusia untuk memelihara dunia ciptaan ini yang akhir-akhir ini dirusakkan oleh aneka polusi dan sejumlah tindakan yang tak bertanggungjawab. Pedang Santo Hadrianus beserta rumah pusakanya bisa dimanfaatkan untuk merenungkan makna kemartiran di dunia dewasa ini yang tampaknya semakin pudar. Mungkin dengan dalih maunya menggarami dunia, namun jadinya malah dunia yang menggarami kita. Dengan kata lain, kita menjadi larut dan hanyut dalam semangat dunia.
Satu-satunya yang Unik Alami
Kalau Patung Bunda Maria ini sungguh dipelihara beserta gua dengan segala kekayaan ornamen sucinya itu, gua Maria ini bisa menjadi The Only One, satu-satunya gua Maria yang unik dan alami. Peziarah biasanya akan bertanya-tanya pada awalnya, mengapa lubang guanya cuma segitu, cuma nyumplik layaknya sarang macan. Itu sebabnya penduduk Nusakambangan menyebutnya sebagai Gua Macan. Sedangkan penduduk Klaces menyebutnya sebagai gua bendung, sebab di dalamnya ada sungai yang terbendung. Kemudian, yang membuat terkesima adalah patung Bunda Maria. Sebab, peziarah umumnya sudah terlanjur akrab dengan patung Maria yang konvensional, yang biasanya merupakan hasil pahatan manusia. Sementara, kini yang tampak di depan mata adalah “patung” Bunda Maria hasil pahatan alam. Fantastik! Lebih-lebih tidak hanya patung Bunda Maria yang ada di dalamnya, namun juga patung dan relief suci lainnya.
Perjamuan Terakhir
Satwa
Akhirnya, merupakan tantangan kita semua, bagaimana memelihara dan mengembangkan tempat suci yang elok ini tanpa meninggalkan unsur dan sifat naturalnya seperti dipesankan Bapak Uskup Purwokerto. “Kesan dan sifat alami itu harus semaksimal mungkin dipertahankan agar warna dan suasana ziarah tetap terpelihara,” ungkap Bapak Uskup seperti ditirukan oleh Pak Jono. Dan yang serius tentu adalah masalah mengatasi tanah di atas gua yang sudah gundul. Sejauh mana masih bisa ditumbuhkan kembali lewat program reboisasi, agar tanah di atasnya tidak semakin tererosi dan mengotori dinding-dinding gua dengan segala keelokan yang ada di dalamnya.
Doa kepada Bunda Penolong Abadi
Bunda Penolong Abadi, Engkau yang terberkati yang dikasihi Allah. Engkau tidak hanya menjadi Bunda Penebus, tetapi juga menjadi Bunda kami yang ditebus-Nya. Kami bersujud di hadapanmu sebagai anak-anak yang kaukasihi. Jagalah dan peliharalah selalu diri kami. Sebagaimana engkau lakukan terhadap Puteramu, demikian jugalah hendaknya terhadap kami. Jadilah engkau Bunda kami yang setiap saat sudi menolong kami. Karena Allah yang mahakuasa telah melakukan hal-hal besar bagimu dan belaskasih-Nya dari zaman ke zaman berlaku bagi mereka yang mencintai-Nya. Ketakutan kami yang paling dalam ialah kalau di masa pencobaan ini kami gagal menyerukan namamu dan kami menjadi anak yang hilang. Bila kami menghadapi situasi seperti itu, ya Bunda, bergegaslah datang, ya Bunda terkasih, untuk mencurahkan belaskasihan dan ampunanmu bagi dosa-dosa kami agar kami sanggup mencintai Yesus Puteramu yang menjadi penyalur segala rahmat kini dan sepanjang masa. Amin.
Rute Perjalanan:
- Dari arah Yogyakarta Anda mengambil jalur Selatan ke arah Banyumas. Sesampainya di Buntu belok ke kiri ke arah Cilacap, kemudian menuju ke Sleko, dan kapal akan siap menghantar Anda ke Ds. Klaces. Dari Klaces Anda akan dihantar ke lokasi Gua Maria dengan naik ojek atau jalan kaki 4 km.
- Dari Semarang Anda lewat Purbalingga - Sokaraja - Banyumas lalu Buntu, terus ke Cilacap. Selanjutnya seperti no. 1.
- Dari Jakarta - Purwokerto -Sokaraja - Banyumas - Buntu - Cilacap dan selanjutnya seperti no. 1 Atau: Jakarta - Cirebon - Ajibarang - Wangon - Cilacap dan selanjutnya seperti no. 1.
Informasi:
Ibu Dra. Christina Sriwahyuni, Apt.,
Ketua Panitia Pengembangan Gua Maria Nusakambangan,
Jl. Gatot Subroto 35 A, Cilacap, Jawa Tengah.
Telp. (0282) 533018 atau HP. 08122724540.
http://www.guamaria.info/ziarah-kemana/14-lokasi-gm-jateng/87-gua-maria-nusakambangan-cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar